Serving, not to be served

Serving, not to be served

Kamis, 10 Juni 2010

PERBEDAAN RERATA SEL PODOSIT URIN PADA WANITA HAMIL NORMAL DAN PREEKLAMPSIA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi sekitar 5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia, dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Pada ibu dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia neurogenik, kecil masa kehamilan (KMK), dan kematian (Baumwell S., 2007).
Menurut Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick ≥ 1+ (Angsar MD., 2003; Creasy RK. et al., 2004; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006).
Berdasarkan beberapa penelitian terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa hubungan antara derajat proteinuria dan luaran kehamilan masih mengalami pertentangan. Selain itu, literatur terbaru menyimpulkan kurangnya akurasi proteinuria dengan pemeriksaan dipstick pada kehamilan. Para peneliti lain mengusulkan proteinuria selektif dan non-selektif untuk membedakan preeklampsia dengan penyakit proteinuria lain, namun hasilnya masih mengecewakan (Karumanchi SA., 2007).
Stillman et al., (2007) Hipertensi dan proteinuria dihubungkan dengan suatu lesi glomerulus yang khas, endotheliosis. Glomerular endotheliosis merupakan varian spesifik dari thrombotic microangiopathy yang ditandai dengan pembengkakkan endotel glomerulus, hilangnya fenestrae, dan terjadinya oklusi pada lumen kapiler.
Garovic et al., (2007) memperkenalkan sel podosit urin yang merupakan ekskresi dari epitel sel visceral glomerulus wanita hamil dengan preeklampsia. Ditemukan bahwa identifikasi sel podosit urin dapat membedakan preeklampsia dari gangguan hipertensi proteinuria yang lain (Karumanchi SA., 2007, Vesna D., 2007, Anonimous, 2007).
Ekskresi sel diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi 4 podocyte-specific protein (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin) Protein-protein ini seluruhnya ada dalam sel yang dieksresikan dalam urin wanita preeklampsia dengan proteinuria, namun tidak diekskresikan dari urin wanita hamil dengan tensi normal non proteinuria. Kuantifikasi sel podosit urin banyak diteliti, karena dari hasil penelitian terdahulu, biopsi dengan menggunakan berbagai kriteria tertentu, diagnosa preeklampsia masih mengalami kekeliruan lebih dari 15% nulipara dan 50% multipara. Garovic et al., (2007) juga mengemukakan bahwa lepasnya podocytes-glomerular epthelial cells dalam urine berkontribusi terhadap proteinuria preeklampsia (Karumanchi SA., 2007).
Pemeriksaan prediktif dan diagnostik preeklampsia yang ada sekarang ini banyak bersifat invasif, ditambah masih adanya false positive rate proteinuria yang sangat tinggi 12,5% - 93%, oleh karena itu perlu dikembangkan suatu metode non invasif pemeriksaan penunjang diagnostik, dan prediktif preeklampsia yang lebih akurat dengan kuantifikasi sel podosit urin menggunakan immunofluoresence microscope.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Apakah rerata sel podosit urin berbeda pada wanita hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan rerata sel podosit urin pada wanita hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui rerata sel podosit urin pada kehamilan normal.
b. Untuk mengetahui rerata sel podosit urin pada preeklampsia ringan.
c. Untuk mengetahui rerata sel podosit urin pada preeklampsia berat.
d. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan rerata sel podosit urin pada kehamilan normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat.
e. Untuk mengetahui cutoff point rerata sel podosit urin pada kehamilan normal dan preeklampsia.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat bagi Pengetahuan
Untuk memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan tentang peranan sel podosit urin dalam memprediksi preeklampsia.
1.4.2. Manfaat bagi Pelayanan
Diharapkan dapat digunakan sebagai acuan prediktor preeklampsia yang bersifat non invasif, efektif, efisien, akurat dalam upaya diagnostik maupun prediktif preeklampsia.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kehamilan Normal
Kehamilan normal berhubungan dengan peningkatan cardiac output dan pengurangan resistensi vaskuler sistemik. Ini biasanya ditandai dengan peningkatan aliran darah uterus yang tidak disertai dengan sejumlah perubahan. Resistensi vaskuler aliran darah regional lebih rendah pada jaringan ekstrauterin. Tekanan darah sistemik pada kehamilan normal juga biasanya lebih rendah daripada sebelum atau setelah melahirkan. Semua perubahan cenderung berkurang pada trimester akhir persalinan (Epstein FH. et al., 2005).




Laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal meningkat kira-kira 35-50% selama kehamilan normal. Kreatinin klirens rata-rata meningkat segera setelah hari pertama haid terakhir, secara signifikan meningkat pada kehamilan minggu ke-4. Renal hiperemia berkurang mulai kira-kira minggu ke-4. Laju filtrasi glomerulus meningkat selama kehamilan, serum kreatinin dan ureum darah menurun (Epstein FH. et al., 2005).
Klirens urat meningkat dan serum asam urat berkurang. Ekskresi protein urin meningkat, juga dapat terjadi mikroalbuminuria ringan. Wanita dengan glomerulonefritis kronik inaktif, sebelum kehamilan ekskresi protein <1 gr/hari. Ekskresi 2-6 gram protein dalam urin selama kehamilan normal disebabkan oleh hiperemia glomerulus tanpa tanda-tanda lain dari nefritis eksaserbasi. Pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi ukuran ginjal meningkat selama kehamilan, panjang ginjal meningkat kira-kira 1 cm (Epstein FH. et al., 2005).

2.2. Preeklampsia
Preeklampsia paling sering dihubungkan dengan komplikasi ginjal pada kehamilan, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria, terdeteksi selama trimester akhir kehamilan, dan biasanya menghilang setelah plasenta lahir. Umumnya dihubungkan dengan edema dan hiperurisemia. Plasenta preeklampsia sering abnormal dengan bukti adanya hipoperfusi dan iskemia.
Disfungsi endotel vaskuler dan mikroangiopati pada ibu, tidak pada janin. Target organ predominan seperti otak (kejang atau eklampsia), hati (HELLP syndrome), ginjal (glomerular endotheliosis dan proteinuria). Preeklampsia diawali dengan gangguan perkembangan plasenta yang berakibat pada sel endotel, merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia (Epstein FH. et al., 2005).

2.2.1. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi medis, dimana hipertensi timbul pada kehamilan (pregnancy induced hypertension) yang dihubungkan dengan proteinuria. Diagnosis ditegakkan dengan adanya peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg disertai proteinuria (Creasy RK. et al., 2004).
Menurut Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), 2000 apabila dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick ≥ 1+ (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006).


2.2.2. Epidemiologi
Penelitian epidemiologi mengidentifikasi mutasi genetik, faktor paternal, dan faktor maternal yang mengakibatkan peningkatan risiko preeklampsia. Patofisiologi preeklampsia yang relevan merupakan maternal systemic comorbidities yang meningkatkan risiko preeklampsia termasuk diabetes mellitus, hipertensi, dan hiperlipidemia dihubungkan dengan inflamasi kronik dan disfungsi endotel. Peningkatan body mass index (BMI) sebelum kehamilan mengakibatkan peningkatan risiko preeklampsia (Baumwell S., 2007).
Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah: perdarahan 45%, infeksi 15%, hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia) 13%. Sisanya partus macet, abortus yang tidak aman, dan penyebab tidak langsung lainnya (SKRT, 1995 cit Roeshadi RH., 2006).

Tabel 2.1. Angka Kejadian Preeklampsia dan Eklampsia Beberapa Rumah Sakit di Indonesia (Girsang E., 2004 cit Roeshadi RH., 2006)
Tahun Rumah Sakit Persent(%) Penulis
1993-1997
1996-1997
1995-1998
2000-2002
2002 RSPM
12 Rumah Sakit
RSHS
RSHAM-RSPM
RSCM 5,75
0,8-14
13,0
7,0
9,17 Simajuntak J
Tribawono A.
Maizia
Girsang E
Priyatini

Penyebab kematian ibu oleh perdarahan dan infeksi telah dapat diturunkan akibat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotika yang semakin meningkat. Sebaliknya pada penderita preeklampsia, karena ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinik berkembang menjadi preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan. Menurut laporan beberapa rumah sakit di Indonesia (tabel 2.1.) angka ini telah menggeser perdarahan dan infeksi sebagai penyebab utama kematian maternal (Sofoewan S., 2003 cit Roeshadi RH., 2006).
Komplikasi hipertensi pada kehamilan menempati urutan pertama morbiditas dan mortalitas maternal diikuti perdarahan dan infeksi. Pada tahun 2001, menurut The National Center for Health Statistic, hipertensi gestasional diidentifikasi pada 150.000 wanita hamil atau 3,7% pada kehamilan. Berg and colleaguess., (2003) melaporkan 16% dari 3201 kehamilan menyebabkan kematian dari tahun 1991-1997 di Amerika Serikat (Cunningham FG., 2005).
Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia adalah 6-8% di antara seluruh wanita hamil, 3-7% pada nullipara, 0,8-5% pada multipara. Peneliti lain Norwitz ER. et al., (1990) menemukan nullipara dengan preeklampsia dan eklampsia 75-80%, Adi Putra., (2005) 44%, dan Sukatendal K., (2004) 39%.

2.2.3. Klasifikasi
Klasifikasi gangguan hipertensi pada kehamilan menurut Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), 2000 menunjukkan terdapat 5 tipe penyakit hipertensi (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006):
1. Hipertensi Gestasional. Dahulu disebut pregnancy-induced hypertension termasuk transient hypertension Pada kehamilan di jumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, tanpa disertai proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum 12 minggu pasca persalinan.
2. Preeklampsia. Apabila dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu, disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick ≥ 1+.
3. Eklampsia. Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai koma.
4. Hipertensi Kronik dengan Superimposed Preeklampsia. Pada wanita hamil dengan hipertensi, muncul proteinuria ≥ 300 mg/24 jam setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan tanda preeklampsia lainnya.
5. Hipertensi Kronik. Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20 minggu, ditemukan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.

2.2.4. Diagnosa
Kriteria terbaru preeklampsia berupa onset hipertensi dan proteinuria setelah kehamilan 20 minggu (Baumwell S., 2007).
Hipertensi di diagnosa ketika tekanan darah saat istirahat 140/90 mmHg atau lebih (Cunningham FG., 2005). Diagnosis kehamilan dengan gangguan hipertensi sesuai klasifikasi gangguan hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP), 2000 (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; AJOG Vol 183, 5. July 2000 cit Roeshadi RH., 2006).

2.2.5. Kausa
Penyebab preeklampsia tidak sepenuhnya diketahui. Sampai sekarang penyebab preeklampsia dan eklampsia masih tanda tanya, penyakit ini masih disebut disease of theory (August P., 2000; Abboud O., 2000; Cunningham FG., 2005; Chesley, 1978 cit Roeshadi RH., 2006)

2.2.6. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko pada penyakit ini antara lain adalah (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; Emery SP., 2005; Robillard PY., 1994 cit Roeshadi RH., 2006; Baumwell S., 2007). :
• Nullipara, terutama usia ≤ 20 tahun, dan kehamilan yang langsung terjadi setelah perkawinan. Riwayat pernah menderita preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan terdahulu.
• Riwayat penderita preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga.
• Kehamilan ganda.
• Diabetes mellitus.
• Hydrops foetalis.
• Mola hidatidosa.
• Anti phospolipid antibody (Gangguan jaringan konektif vaskuler).
• Infeksi saluran kemih.
• Riwayat penderita hipertensi dan penyakit ginjal, nefropati.
• Multipara dengan umur lebih dari 35 tahun.
• Etnis Afrika –Amerika.
• Obesitas.

2.2.7. Patologi
Pada preeklampsia dan eklampsia, terjadi perubahan sistemik dan organ akibat vasospasme dan iskemia plasenta (Angsar MD., 2003).

2.2.8. Patofisiologi Preeklampsia
Preeklampsia berkomplikasi 5-7% dari seluruh kehamilan. Proteinuria dan hipertensi mendominasi gambaran klinik, sebab organ targetnya adalah ginjal (glomerular endotheliosis). Patogenesis preeklampsia adalah kompleks seperti adanya sejumlah kelainan genetik, imunologi, dan interaksi faktor-faktor lingkungan (Hladunewich M. et al., 2007).
Pada saat ini ada 4 hipotesa patogenesis dari preeklampsia, sebagai berikut (Dekker GA., Sibai BM., 1998 cit Roeshadi RH., 2006). :
1. Iskemia Plasenta.
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang menyebabkan kegagalan invasi ke arteri spiralis dan akan mengakibatkan iskemia pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun.
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel tropoblast pada arteri spiralis, dan terjadinya disfungsi endotel di picu oleh pembentukkan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.

3. Genetik Inpreting.
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung pada genotip janin.
4. Perbandingan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) dan TxPA (Toxicity Preventing Activity).
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak kedalam hepar akan menurunkan aktifitas antitoksin albumin sampai pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul.

Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia (Dekker GA., Sibai BM., 1998 cit Roeshadi RH., 2006). Tahap pertama terjadinya hipoksia plasenta oleh karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal dan trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruang intervilus di plasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta (Abboud O., 2000; Jaffe et al., 1995 cit Roeshadi RH., 2006).
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidative stress yaitu suatu keadaan, dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibanding antioksidan (Robert JM., 2004 cit Roeshadi RH., 2006).
Oxidative stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut sebagai disfungsi endotel, dimana dapat terjadi kerusakan pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah dan organ-organ penderita preeklampsia (Roeshadi RH., 2006).
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia, jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi endotel dan kegagalan organ seperti pada (Angsar MD., 2003; Cunningham FG., 2005; Roeshadi RH., 2006). :
• Ginjal : hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
• Pembuluh darah sistemik menyempit : hipertensi.
• Perubahan permiabilitas pembuluh darah : edema paru, dan edema menyeluruh.
• Darah : trombositopenia, dan koagulopati.
• Hepar : perdarahan dan gangguan fungsi hati.
• Susunan saraf pusat dan mata : kejang, kebutaan, ablasi retina, dan perdarahan.
• Plasenta : ganguan pertumbuhan, hipoksia janin, dan solusio plasenta.

Preeklampsia terdiri atas dua stadium penyakit :
1. Stage I Plasentasi abnormal. asimptomatik, yang ditandai dengan perkembangan abnormal plasenta selama trimester pertama yang mengakibatkan terjadinya insufisiensi plasenta dan terlepasnya sejumlah besar material plasenta ke dalam sirkulasi maternal (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).
Penanganan definitif preeklampsia adalah dengan melahirkan plasenta. Pada wanita yang sebelumnya memiliki pengalaman hamil dengan plasenta tanpa fetus seringkali berkembang menjadi preeklampsia berat, hal ini merupakan alasan yang mengasumsikan bahwa plasenta berperanan sentral dalam patogenesis penyakit ini. Pemeriksaan patologi plasenta pada preeklampsia umumnya menampakkan infark plasenta dan sklerosis dengan gejala karakteristik yaitu berkurangnya invasi endovaskuler sitotropoblast dan terjadi perubahan inadekuat dari arteri spiralis (Hladunewich M et al., 2007; Stillman IE et al., 2007).




Walaupun perubahan patologi tidak selalu terlihat pada plasenta wanita dengan preeklampsia, profil plasenta yaitu keabnormalan doppler arteri uterina dan morfologi plasenta digunakan untuk mengidentifikasi wanita risiko tinggi yang berkembang menjadi sindrom ini. Penelitian doppler arteri uterina dalam menilai pulsatile index (PI) menunjukkan peningkatan resistensi vaskuler baik sebelum tanda dan gejala muncul, selain itu kontraksi mekanik arteri uterina mengakibatkan hipertensi, proteinuria, dan glomerular endotheliosis yang mendukung peranan iskemia plasenta dalam patogenesis preeklampsia (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).
2. Stage II simptomatik, dimana wanita hamil dengan hipertensi, gangguan ginjal, dan proteinuria berisiko untuk terjadinya hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP syndrome), eklampsia, dan kerusakan organ (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).




Plasentasi mamalia memerlukan angiogenesis luas untuk membentuk jaringan yang sesuai untuk suplay oksigen dan nutrient pada fetus. Faktor antiangiogenik merupakan suatu yang rumit dalam perkembangan plasenta. Hal ini diyakini sebagai angiogenesis plasenta buruk pada preeklampsia, sebagai bukti kegagalan dari sitotropoblast untuk berubah dari beberapa epitel ke fenotip endotel, berdasarkan studi marker permukaan sel. (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).

Normalnya, invasi sitotropoblast mengatur penurunan ekspresi dan adhesi molekul yang karakteristik pada epitel sel asli dan adopsi fenotip. adhesi permukaan sel merupakan ciri sel endotel, suatu proses yang menunjukkan pseudovaskulogenesis. (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).
Pada preeklampsia, sel sitotropoblast gagal melalui perubahan permukaan sel integrin dan molekul adhesi. Diferensiasi keabnormalan sitotropoblast ini merupakan defek awal yang akhirnya menimbulkan iskemia plasenta. Apakah kekurangan konversi dari sitotropoblast ke fenotip endotel pada wanita preeklampsia merupakan peristiwa primer atau sekunder belum jelas (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).





Plasentasi abnormal akibat kegagalan remodeling trophoblast arteri spiralis berperan pada pelepasan faktor sekresi yang masuk ke sirkulasi ibu, dan mencapai puncaknya pada tanda dan gejala preeklampsia. (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).
Semua manifestasi klinik preeklampsia dapat berhubungan dengan gromerular endotheliosis, peningkatan permiabilitas vaskuler, dan respon inflamasi sistemik yang berakibat pada kerusakan organ akhir dan atau hipoperfusi. Manifestasi klinik ini khas terjadi setelah 20 minggu kehamilan (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).
2.2.9. Manifestasi Klinik
A. Hipertensi
Berbagai mekanisme berkontribusi terjadinya hipertensi pada preeklampsia, sympathetic tone dan sistem renin angiotensin mengubah produksi mediator vasoaktif endotel. Ibu dengan preeklampsia memiliki peningkatan sympathetic tone yang meningkatkan respon terhadap norepinefrin, dan lebih sensitif terhadap angiotensin II. (Baumwell S., 2007).
Kesensitifan ini dimediasi oleh AT1-B2 heterodimerization (angiotensin II receptor type 1 dan bradikinin B2 receptor) atau oleh autoantibody AT1 receptor (AT1-AA), yang memfasilitasi interaksi antara angiotensin II dan AT1 receptor. Angiotensin II berperanan multiple terhadap patologi dari preeklampsia, termasuk berkontribusi terhadap hipertensi, meningkatkan oxidative stress melalui produksi superoksida anions, dan aktivasi platelet (Baumwell S., 2007).


Gambar 6. Mekanisme Hipertensi pada Kehamilan

Disfungsi endotel pada preeklampsia akan melepaskan sejumlah mediator vasoaktif seperti prostaglandin I2 (PGI2, atau prostacyclin), dan vasodilator endotel akan menurun pada preeklampsia (Baumwell S., 2007).
Peningkatan resistensi vaskuler periper dibanding peningkatan cardiac output merupakan penyebab utama hipertensi. Hipertensi pada preeklampsia merupakan efek dari penekanan dan bukan aktivasi dari sistem renin angiotensin aldosteron. Ini menunjukkan bahwa terjadinya vasokonstriksi, pada awalnya adalah peningkatan resistensi vaskuler periper yang mengakibatkan retensi garam, air, dan mengakibatkan peningkatan volume sirkulasi darah dengan menekan renin dan aldosteron. Walaupun total volume plasma sedikit menurun, namun hipertensi preeklampsia akan diperburuk oleh adanya pelepasan garam dan sebagian akan membaik dengan pemberian diuretik dan pengurangan garam (Epstein FH. et al., 2005).
Vasokonstriksi pada preeklampsia terjadi akibat alterasi beberapa molekul vasoaktif termasuk vasokonstriktor; norepineprin, endothelin, dan tromboxan dan vasodilator prostacyclin dan mungkin nitric oxida. Substansi vasoaktif yang timbul untuk memediasi hipertensi pada preeklampsia, dimana disintesis secara menyeluruh oleh endotel vaskuler, hal ini mendukung hipotesa bahwa disfungsi endotel berperan dalam hipertensi preeklampsia (Epstein FH. et al., 2005).
Penyesuaian pada kehamilan normal termasuk penurunan tekanan darah sistole dan diastole sebagai akibat penurunan resistensi vaskular sistemik primer-sekunder untuk vasodilatasi. Relaxin, yang terlepas dari kedua ovarium ada dibawah pengaruh HCG, NO (nitric oxida), enzim yang menghasilkan NO dari arginin, melalui reseptor endothelin B endotel (Hladunewich M. et al., 2007).
Pada preeklampsia, adanya kekacauan faktor vasoaktif derivat endotel predominan akibat substansi yang merupakan vasokonstriktor (endothelin, tromboxan A2) yang melebihi vasodilator (NO, prostacyclin). (Hladunewich M. et al., 2007).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, akibat dari vasokonstriksi abnormal. Pada manusia bukti yang mendukung defisiensi NO dalam patogenesis hipertensi preeklampsia masih kontroversi. Sistem renin angiotensin dipahami sebagai patofisiologi hipertensi pada preeklampsia (Hladunewich M. et al., 2007).
B. Penurunan GFR
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan Renal Plasma Flow (RPF) meningkat 40-60% pada kehamilan normal selama trimester pertama yang mengakibatkan berkurangnya urea nitrogen dan kreatinin. Pada preeklampsia, GFR dan RPF berkurang 30-40% dibandingkan kehamilan normal yang mengakibatkan BUN dan kreatinin menyerupai wanita tidak hamil. Biopsi ginjal pada kondisi nefrotik, dimana podocyte foot-processes normalnya menghilang, dan relatif ada pada preeeklampsia. (August P., 2000; Epstein FH. et al., 2005; Baumwell S., 2007; Krane NK., Hamrahian M., 2007).





Renal glomerular filtration apparatus terdiri atas 3 komponen berbeda yaitu : endotel fenestra, GBM (glomerular basement membran), dan epitel sel podosit urin (Gambar 11.) (Kalluri R., 2006).
Pada preeklampsia dan eklampsia, akibat hipovolemia, maka aliran darah ke ginjal juga menurun. Dampak aliran darah ke ginjal yang menurun ini ialah :
1. Produksi urin juga menurun, dan dapat terjadi oliguri, sampai anuri.
Makin sedikit produksi urin, makin sedikit aliran darah ke ginjal, makin berat hipovolemia, berarti makin berat penyakitnya. Perfusi ginjal dan filtrasi glomeruli menurun, memberi dampak : kadar asam urat plasma meningkat, kreatinin plasma meningkat 2x dari kadar kreatinin hamil normal (0,5 mg/cc) dapat terjadi pula kadar kreatinin plasma meningkat cukup tinggi 2-3 mg/cc.
2. Ginjal mengalami hipoksia dan iskemia.
Terjadi kerusakan instrinsik jaringan yang disebabkan vasospasme pembuluh darah intrarenal. Kadar natrium urin meningkat. Bukti adanya kerusakan intrinsik ginjal. Kadar kalsium urin menurun akibat meningkatnya reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hipokalsiuria). Setelah selesai persalinan, fungsi ginjal akan kembali normal, kecuali ada penyakit : renovaskuler kronik, renal kortikal nekrosis (Angsar MD., 2003).
Pada kehamilan normal, GFR dan aliran plasma ginjal selama awal dan tengah kehamilan meningkat, pada preeklampsia GFR dan aliran darah ginjal berkurang. Proteinuria pada preeklampsia adalah non-selektif. Fraksi filtrasi (GFR : aliran darah ginjal) lebih rendah pada preeklampsia di banding normal selama trimester akhir kehamilan. Proteinuria biasanya menghilang setelah 7-10 hari, walaupun pada beberapa wanita dapat menetap 3-6 bulan (Epstein FH. et al., 2005).

C. Glomerular Endotheliosis.
Glomerular Capillary Endotheliosis merupakan lesi klasik ginjal yang ada pada preeklampsia. Lesi ini ada pada hipertensi gestasional atau kehamilan normal dalam derajat lebih ringan. Di bawah mikroskop cahaya glomerulus tampak secara relatif melebar. Lapisan sel endotel kapiler membengkak dan hipertropi, menyisakan sedikit celah untuk eritrosit dan tampak glomerulus bloodless. Sel mesangial juga membengkak, dengan mesangial interposisi pada kasus berat (Baumwell S., 2007).
Dengan mikroskop elektron tampak subendotel fibroid dan deposit granuler, serupa dengan kehilangan fenestra endotel. Hilangnya fenestra signifikan mengurangi GFR. Fenestra sel endotel berkurang 70% menyebabkan peningkatan resistensi sel endotel yang menyebabkan pengurangan GFR. Ditambah dengan deposit subendotel dari fibrin atau fibrinogen menyebabkan jalan ekstrasel lebih panjang untuk proses filtrasi, yang juga akan mengurangi GFR (Baumwell S., 2007).
Wanita hamil normal menunjukkan hiperfiltrasi glomerulus, meningkat di atas normal, nongravida sampai mencapai level 40-60%. Hiperfiltrasi ini secara primer mengakibatkan penekanan pada tekanan onkotik plasma dalam kapiler glomerulus. Pengurangan tekanan onkotik plasma diakibatkan oleh dua fenomena. Pertama adanya hypervolemia-induced hemodilution yang menurunkan konsentrasi protein plasma yang masuk ke mikrosirkulasi glomerulus. Kedua adanya peningkatan angka Renal Plasma Flow (RPF). Hiperperfusi glomerulus luas yang mana tekanan onkotik dapat meningkat sepanjang kapiler glomerulus selama filtrasi. Pada preeklampsia, variasi derajat insufisiensi ginjal dihubungkan dengan lesi glomerulus khas, glomerular endotheliosis (Hladunewich M. et al., 2007; Stillman IE. et al., 2007).
Dengan pemeriksaan electrone microscope, didapatkan perubahan pada ginjal berupa sel-sel endotel glomeruli membengkak, dibawahnya terdapat deposit fibrin, yang disangka penebalan membran basal. Keadaan ini disebut sebagai glomerular capillary endotheliosis. Pembengkakan sel endotel dapat menutup total atau sebagian lumen kapiler, didapatkan deposit fibrinogen dibawah sel endotel, yang akan menghilang setelah 1 minggu persalinan. Gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus. Gejala-gejala oligouri atau anuria, azotemia (kenaikan kreatinin 1 mg/cc perhari) hal ini dapat disebabkan oleh syok hipovolemik atau perdarahan. Meskipun jarang terjadi sebagian besar dari kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka akan terjadi renal cortical necrosis yang bersifat irreversible (Angsar MD., 2003).
Preeklampsia dihubungkan dengan penampakan glomerulus yang unik dan spesifik disebut sebagai glomerular endotheliosis. Pada mikroskop cahaya lumen kapiler glomerulus tampak sempit, membesar dan bloodless (Gambar 8.). Endotheliosis preeklampsia biasanya tidak disertai dengan penonjolan kapiler thrombus, pada immunoflourescence microscope tampak deposit fibrin terutama mikroangiopati trombosis sistemik menonjol (Epstein FH. et al., 2005; Stillman IE. et al., 2007).
Glomerular endotheliosis sedang terdapat lebih dari 30% pada pasien dengan pregnancy-induced hypertension tanpa proteinuria. Perubahan glomerulus menghilang dalam 8 minggu persalinan. Pada preeklampsia lebih dari 50% kasus glomerular endotheliosis focal menyertai glomerular endotheliosis general (Epstein FH. et al., 2005; Stillman IE. et al., 2007).




D. Proteinuria
Salah satu fungsi utama ginjal adalah filtrasi berat molekul plasma rendah. Unit filtrasi ginjal disebut sebagai glomerulus yang mengandung kapiler-kapiler berada dalam capsula bowman dan setiap hari menyaring kurang lebih 180 liter urin primer tanpa makromolekul. Dinding kapiler glomerulus ditandai dengan permiabilitas tinggi terhadap air, cairan dan ion-ion (Ronco P., 2007).
Komponen essensial dinding kapiler glomerulus; endotel fenestra, membran glomerulus basal, dan sel podosit urin (Gambar 9) (Ronco P., 2007).
Adanya proteinuria merupakan syarat mendiagnosis preeklampsia. Proteinuria timbul pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai preeklampsia tanpa proteinuria. Seharusnya dilakukan pengukuran proteinuria dalam 24 jam, dipstick 1+ sama dengan kadar 300 mg/24 jam. Albuminuria istilah yang tidak tepat, karena dalam proteinuria yang dikeluarkan bukan hanya albumin, tetapi jenis-jenis protein lain, juga protein molekul besar : hemoglobin, globulin, transferin (Angsar MD., 2003).





Pada kehamilan normal protein dengan molekul besar tidak difiltrasi oleh ginjal. Pada hamil normal didapatkan proteinuria 0,3 g/24 jam yang masih dianggap fisiologik. Bila kadar proteinuria lebih dari 0,3 g/liter dalam urin 24 jam, maka dianggap proteinuria patologik. Proteinuria pada preeklampsia merupakan proses yang reversible, dan akan kembali normal setelah 1 minggu (7-10 hari), bahkan pada kasus yang persisten akan menghilang perlahan-lahan dalam 3-6 bulan pasca persalinan (Angsar MD., 2003; Epstein FH. et al., 2005).
Pada tahun 1843, John Lever dari Guy’s Hospital di London menemukan adanya albumin pada urin wanita hamil dengan kejang puerperalis. Preeklampsia dibedakan dengan hipertensi gestational dengan adanya proteinuria. Jumlah protein yang dieksresikan didefinisikan ≥ 300 mg dalam 24 jam urin tampung atau 1+ atau lebih pada test dipstick pada dua urin random yang dikumpulkan dalam 4 jam. Mekanisme proteinuria pada preeklampsia tidak jelas. (Hladunewich M. et al., 2007).

E. Koagulopati dan HELLP Syndrome
Pada preeklampsia, endotel injury menjadi manifestasi dari koagulopati derajat rendah dengan peningkatan fibronektin, agregasi platelet, pemendekan kemampuan hidup platelet, dan penekanan derajat antitrombin III. HELLP syndrome berkembang lebih dari 10% kehamilan dengan preeklampsia berat, bukti keberadaannya memberi kesan bahwa fenomena hipertensi berat pada kehamilan ini tidaklah sederhana. Konsentrasi plasma sel fibronektin menetap lebih tinggi selama kehamilan pada ibu yang berkembang menjadi preeklampsia (Hladunewich M. et al., 2007).

F. Eklampsia
Kejang dengan gejala neurologik lain termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan, berkomplikasi kira-kira 5 per 10.000 kelahiran hidup, dengan berkurangnya insiden akibat perbaikan prenatal care dengan mempercepat persalinan dan juga penggunaan magnesium sulfat. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap terjadinya kejang tidak jelas, tetapi secara teori diungkapkan termasuk vasospasme cerebral, edema, dan kemungkinan hipertensi berat dapat mengganggu autoregulasi dan mengacaukan blood-barrier-brain. (Hladunewich M. et al., 2007).
Edema cerebri pada eklampsia predominan melibatkan area posterior, lobus parieto-occipital dan akan menyerupai gambaran reversible posterior leukoencephalopathy syndrome. Ini didapatkan pada pemeriksaan magnetic resonance image (MRI) yang menunjukkan hubungan antara marker disfungsi endotel termasuk lactic dehidrogenase (LDH), red blood cell (RBC), dan kreatinin pada hipertensi (Hladunewich M. et al., 2007).
G. Disfungsi Endotel
Terdapat bukti adanya disfungsi endotel pada preeklampsia. Jalur multiple interconnected yang melibatkan oxidative stress, pelepasan sitokin, dan respon inflamasi intravaskuler menyeluruh, dan mencapai puncak peningkatan permiabilitas sel endotel, lipid peroksidasi, aktivasi platelet, aktivasi koagulasi, oxidative stress, dan perubahan keseimbangan mediator vasoaktif, vasokontriksi. Beberapa marker disfungsi endotel termasuk fibronektin, faktor jaringan terlarut, platelet-derived growth factor, soluble e-selectin, dan endothelin (Baumwell S., 2007).

2.3. Sel Podosit
2.3.1. Fungsi
Sel Podosit atau visceral epithelial cells merupakan sel dari epitel visceral ginjal sebagai komponen penting barrier filtrasi dari glomerulus yang mampu memperbesar filtrasi dan secara luas merawat permukaan filtrasi (Gambar 10.) (Anonimous., 2007b).






Sel podosit berdekatan secara interdigitate membungkus lamina basal yang berhubungan dengan kapiler glomerulus, akan tetapi sel podosit membentuk celah atau merupakan celah filtrasi yang tipis. Celah diapragma disusun dari sejumlah sel permukaan protein termasuk nephrin, podocalyxin, dan p-cadherin, yang akan menjamin bahwa makromolekul besar seperti albumin dan gamma globulin menetap pada pembuluh darah (Gambar 12.) (Anonimous., 2007b).



Molekul kecil seperti air, glukosa, dan garam isotonik dapat melalui celah diapragma dan ultrafiltrasi yang selanjutnya diproses oleh nephron untuk memproduksi urin (Hladunewich M., et al. 2007).
Filtrasi glomerulus ginjal merupakan komposisi tiga komponen berbeda yang terdiri dari endotel fenestra, glomerular basement membrane(GBM), epitel sel yang dikenal sebagai podosit. Endotel fenestra merupakan barrier untuk sel besar dan kumpulan sel dalam pembuluh darah, akan tetapi beberapa protein dapat melintasi lapisan endotel. GBM memiliki ketebalan 300nm dan mengandung protein seperti fibronektin, heparan sulfate proteoglycans, type IV collagens, laminins, etc. GBM sebagai filter fisik dan barrier. Molekul dengan diameter >10nm tidak dapat melintasi GBM, dan secara negatif protein >70 kD melintasi GBM minimal. Dua podosit dihubungkan oleh slit diaphragma dan memiliki ketebalan 6 nm. Kerusakan ketiga komponen filtrasi glomerulus mengakibatkan proteinuria tanpa lepasnya sel podosit ke dalam urin.
Lesi predominan yang diamati pada model tikus seperti kerusakan endotel glomerulus, endotheliosis, secara histopatologis juga dapat dilihat pada wanita dengan preeklampsia. Komponen predominan GBM adalah type IV collagens, dan laminins. Predominan type IV collagens GBM terdiri atas unsur rantai α3, α4, dan α5. Adanya lesi pada rantai α3 pada model tikus mengakibatkan defek berat sebagai akibat eliminasi rantai type IV collagens. Nephrin merupakan komponen slit diaphragma dari podosit, struktur lain, konstituen sel bodi termasuk sistem saraf. Defisiensi nephrin pada model tikus mengakibatkan proteinuria massive tanpa defek pada GBM, endotel glomerulus, atau sel podosit (Kalluri, 2006)

2.3.2. Gambaran Struktur Morfologi
Struktur sel podosit menggambarkan tingginya angka sirkulasi vaskuler sel ini. Beberapa lapisan vesikel terlihat sekitar daerah basolateral podocytes. Pada sel bodi, sel podosit urin memiliki retikulum endoplasmik yang berkembang dan dapat mempembesar apparatus golgi ini sebagai bukti pertumbuhan sejumlah besar sel bodi multivesikuler yang pada sel terlihat sebagai komponen lisosome lain, dimana ini menunjukkan aktifitas endositik yang tinggi. Pedikel atau podocyte foot-processes meluas dan meningkat pada daerah permukaan (Anonimous., 2007b).

2.3.3. Patologi
Gangguan dari celah diapragma atau kerusakan sel podosit urin dapat menimbulkan proteinuria massive, dimana sejumlah besar protein keluar dari pembuluh darah. Suatu contoh ini terjadi gangguan congenital finnish-type nephrosis pada neonatus yang ditandai oleh adanya proteinuria sebagai tanda adanya kegagalan ginjal tahap akhir. Penyakit ini dapat disebabkan oleh suatu mutasi gen nephrin (Hladunewich M. et al., 2007).

2.3.4. Sel Podosit Urin pada Preeklampsia
Kecenderungan adanya kerusakan ginjal akut pada preeklampsia, didalilkan sebagai lepasnya sel podosit dalam urin bersamaan dengan proteinuria yang berhubungan dengan beratnya penyakit (Vesna D. et al., 2007).
Penelitian ini menguji ekskresi sel podosit urin, yang diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi protein spesifik sel podosit urin (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin), ada pada urin wanita hamil dengan preeklampsia dan mencari hubungan nilai sel podosit urin dengan derajat proteinuria. Podocin-positive cells yang tampak dalam urin wanita preeklampsia, HELLP dan tidak ada pada wanita normotensi, dimana sensitifitas dan spesifitas sel podosit urin dalam mendiagnosis preeklampsia 100%. Eksresi sel podosit urin dengan menghitung 4 podocyte-spesifik marker (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin) yang merupakan marker sensitif kerusakan ginjal dan proteinuria preeklampsia (Vesna D. et al., 2007).
Proteinuria pada preeklampsia berkembang secara akut dan menghilang setelah persalinan. Sel podosit urin ada sewaktu diagnosis preeklampsia dan dihubungkan dengan derajat proteinuria. Sel podosit urin tidak timbul hanya karena akibat kerusakan ginjal hipertensi atau adanya proteinuria. Didalilkan bahwa sel podosit urin merupakan marker subklinik kerusakan ginjal dan dapat dideteksi sebelum adanya proteinuria dan gambaran klinik preeklampsia muncul, penelitian ke depan berusaha untuk mengembangkan penggunaannya sebagai alat skreening preeklampsia, dimana menguji hipotesa bahwa sel podosit urin timbul sebelum proteinuria (Vesna D. et al., 2007).
Preeklampsia merupakan gangguan spesifik kehamilan ditandai oleh adanya hipertensi dan proteinuria. Proteinuria dihubungkan dengan perubahan ekspresi protein podocyte foot-processes. Nephrin dan synaptopodin dihubungkan dengan proteinuria dengan preeklampsia (Garovic D. et al., 2007).
Hilangnya glomerular visceral cells dihubungkan dengan perkembangan glomerular sclerosis dan hilangnya fungsi ginjal. Hilangnya sel podosit urin dihitung dengan cytospin. Sel podosit urin merupakan sel epitel yang sangat spesial dari lapisan permukaan lempeng kapiler glomerulus dan merupakan bagian dari barrier filtrasi glomerulus yang bersama dengan sel endotel kapiler dan membran basal glomerulus akan menjamin permiabilitas selektif dari dinding kapiler glomerulus. Sel podosit urin selanjutnya mensintesa komponen-komponen dari membran basal glomerulus yang akan menyediakan kestabilan bagi struktur lempeng glomerulus (Stefanie UV. et al., 2007).
Kuantifikasi, identifikasi, dan viabilitas sel podosit urin pada cytospin sedimen urin. Sel podosit urin dikenali dengan mengekspresikan sel nukleated-multinukleated podocalyxin menggunakan immunoflourescence microscope (Gambar 13.) (Stefanie UV. et al., 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual
Preeklampsia ditandai dengan adanya hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu. Gangguan fungsi endotel merupakan patogenesis sentral preeklampsia, namun belum ada perhatian langsung yang ditujukan bagi keterlibatan sel podosit urin. Garovic et al.,. (2007) Mengemukakan bahwa terlepasnya podocytes-glomerular epthelial cells (sel podosit urin) berkontribusi pada proteinuria preeklampsia (Anonimous., 2007).
Kecenderungan adanya kerusakan ginjal akut pada preeklampsia, didalilkan sebagai lepasnya sel podosit urin bersamaan dengan proteinuria dan dihubungkan dengan beratnya penyakit. Penelitian menguji ekskresi sel podosit urin yang diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi 4 podocyte-spesific protein (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin), dan mencari hubungan sel podosit urin dengan derajat proteinuria. (Vesna D. et al., 2007).

Gambar 14. Algoritma Kerangka Konsep

3.2. Hipotesa Penelitian
Rerata sel podosit urin pada preeklampsia lebih besar dibandingkan dengan wanita hamil normal.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah analytic cross-sectional study.

Gambar 15. Algoritma Rancangan Penelitian
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
4.2.1. Tempat Penelitian
IRD dan atau Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar.
4.2.2. Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada periode 2008-2009.

4.3. Populasi Penelitian
4.3.1. Targeted population :
Ibu hamil normal dan hamil dengan preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat yang datang ke rumah sakit umum tipe A.
4.3.2. Accessible population :
Ibu hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat yang datang ke Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar periode 2008-2009.
4.4. Sampel Penelitian
Ibu hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat yang datang ke IRD dan atau poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar periode 2008-2009.
4.4.1. Kriteria Inklusi :
• Ibu hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat dengan usia kehamilan > 20 minggu yang datang ke IRD dan atau poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar.
• Bersedia ikut penelitian.

4.4.2. Kriteria Eksklusi :
• Ibu hamil dengan diabetes melitus.
• Ibu hamil dengan kelainan ginjal.
• Ibu hamil dengan kelainan jantung.
• Ibu hamil dengan hipertensi kronis.
• Kehamilan kembar.
• Kematian janin dalam rahim (KJDR).

4.4.3. Perhitungan Besar Sampel



Keterangan :
n1 = n2 : besar sampel penelitian
Zα : 1,96 (α = 0.05) tingkat kemaknaan (ditetapkan oleh peneliti)
Zβ : 0,842 (β = 0,80) (ditetapkan oleh peneliti)
X1-X2 : perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgment)
X1 = 53,4, X2 = 48,4
s : simpang baku kedua kelompok (dari pustaka)

n1 = n2 = 2 (1,96+0,842)10 2 n1 = n2 = 84
(53,4-48,4)

Berdasarkan rumus diatas, besar sample (hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat) dari penelitian ini masing-masing 84 Sampel.
4.4.4. Variabel Penelitian
• Variabel bebas : Sel podosit urin
• Variabel tergantung : Preeklampsia
• Variabel terkontrol : Umur kehamilan > 20 minggu, diabetes mellitus, kehamilan kembar, penyakit ginjal, penyakit jantung, hipertensi kronis, dan kematian janin dalam rahim (KJDR).

4.4.5. Definisi Operasional Variabel
• Kehamilan Normal adalah selama perawatan antenatal atau setelah umur kehamilan 20 minggu dan tekanan darah <140/90 mmHg, tidak ditemukan proteinuria, dan tidak ada komplikasi penyakit sistemik.
• Preeklampsia ringan adalah tekanan darah ≥140/90 mmHg disertai proteinuria (kualitatif ≥ +1) setelah usia kehamilan 20 minggu.
• Preeklampsia berat adalah tekanan darah ≥ 160/110 mmHg disertai proteinuria (kualitatif ≥ +2) setelah usia kehamilan 20 minggu.
• Sel Podosit atau visceral epithelial cells merupakan sel dari epitel visceral ginjal sebagai komponen penting barrier filtrasi dari glomerulus, yang mampu memperbesar filtrasi dan memelihara permukaan filtrasi.
• Podocyturia merupakan sel podosit urin yang ditemukan dalam urin.

4.4.6. Prosedur Pengambilan Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Prosedur menurut metode hara and colleagues modifikasi : Urin segar midstream diambil (20-100 ml), ditampung dalam tabung khusus, kemudian dikemas dan dikirim ke Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Unit III UGM di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta untuk kuantifikasi sel podosit urin menggunakan cytospin sedimen urin anti-podocalyxin antibody, lalu slide diamati menggunakan immunoflourescence microscope.

.
4.4.7. Prosedur Pemeriksaan Sel Podosit Urin
Kuantifikasi sel podosit urin dalam cytospin sedimen urin menggunakan anti-podocalyxin antibody; spesimen urin yang telah dibagi digunakan pada perhitungan sel dengan cytospin.
Sel podosit urin dalam sedimen urin dihitung menurut metode hara and colleagues modifikasi : Spesimen urin segar (20-100 ml) disentrifusi pada kecepatan 700 g selama 5 menit. Supernatan secara perlahan-lahan diaspirasi dan pellet sedimen dicuci 2 kali menggunakan larutan human diploid fibroblast (HDF) (air suling, 137 mM NaCl, 5 mM KCL, 5,5 mM glukosa, 4 mM NaHCO3, dan 0,2% EDTA). Endapan dihomogenkan/dicampur dengan 1 ml larutan HDF. Aliquots (dibagi), 100 μl campuran endapan disentrifusi pada glass slide polylisine. Slide dikeringanginkan dan difiksasi dengan 3% paraformaldehide pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian ditetesi dengan triton X-100. Setelah slide dicuci dengan PBS, slide diinkubasi dengan blocking buffer (PBS yang mengandung 0,2% BSA, 50 mM NH4Cl, dan 1% goat serum) selama semalam pada suhu 4oC. Slide diinkubasi dengan monoklonal antibodi anti-human podocalyxin (PHM5) dengan pengenceran 1:100 selama 60 menit. Setelah dicuci dengan PBS, ditambahkan antibodi sekunder (FITC-labeled goat antimouse IgG) dengan pengenceran 1:10 selama 30 menit. Kemudian di cat dengan hoechst nuclear stain, dan dimounting. Dilihat dibawah immunofluorescence microscope dengan panjang gelombang 488nm untuk podocalyxin (FITC) dan 460nm untuk hoechst nuclear stain.
Sel podosit yang dihitung adalah sel yang viabel, yaitu sel yang menyerap warna biru pada pewarnaan dengan hoechst nuclear stain.
Kuantifikasi terhadap setiap sampel dari semua kelompok dilakukan pada 10 lokasi lapang pandang menggunakan immunofluorescence microscope, sehingga diperoleh data nilai mean atau rerata. Rerata sel podosit urin dinyatakan dalam satuan sel/100 μl suspensi urin.


4.4.8. Alur Penelitian
Ibu-ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi seperti diatas, dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian, setelah mengisi formulir dan menandatangani informed consent yang disediakan. Semua sampel penelitian tersebut dikelola sesuai dengan pedoman terapi Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unud/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini antara lain :
1. Anamnesis meliputi : nama, umur, paritas, hari pertama haid terakhir, berat badan sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan, dan riwayat sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, pemeriksaan tekanan darah dengan cara : penderita berbaring santai minimal 5 menit sebelum pengukuran dimulai. Tekanan darah diukur pada bagian tengah lengan kiri dengan menggunakan tensimeter air raksa. Tekanan darah sistolik ditentukan dengan teknik korotkof I (saat pertama terdengar detak jantung) dan tekanan diastolik dengan teknik korotkof V (hilangnya detak jantung).
3. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urin lengkap, gula darah, BUN, kreatinin sesuai protap.
4. Pengambilan sampel :
• urin 20-100 ml dengan wadah khusus untuk persiapan pemeriksaan sel podosit urin.
• Sampel urin diberi label identitas sesuai dengan nomor urut tanpa menuliskan diagnosa pasien.
• Sampel dianalisa di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Unit III Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta untuk kuantifikasi sel podosit urin menggunakan cytospin sedimen urin anti-podocalyxin antibody.
• Slide diamati menggunakan immunoflourescence microscope.


Gambar 16. Algoritma Alur Penelitian

4.4.9. Teknik Analisa Data
Data akan dianalisa dengan menggunakan komputer program SPSS 14.0 for windows, bertujuan untuk mengetahui rerata, dan perbedaan rerata sel podosit urin pada kehamilan normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat.
Perbedaan rerata diuji menggunakan analisis varians (ANOVA, analysis of variance; one-way ANOVA) dengan membandingkan ketiga kelompok sekaligus (kehamilan normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat.) dan variabel bebas sel podosit urin diklasifikasi dengan satu cara.
Selanjutnya dilakukan uji Tukey-HSD-multiple comparisons post hoc untuk membandingkan perbedaan rerata sel podosit setiap kelompok. Cutoff point rerata sel podosit urin pada kehamilan normal dan preeklampsia dihitung dengan menggunakan tabel 3x2. (Santoso S. 2001).

Hipotesis :
• H0 = ketiga rata-rata populasi adalah identik.
• H1 = ketiga rata-rata populasi adalah tidak identik.
Pengambilan keputusan :
• Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima.
• Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.





















BAB V
HASIL

Sampel urin penelitian diperoleh dari ibu hamil yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan variabel terkontrol yaitu : Umur kehamilan > 20 minggu, diabetes mellitus, kehamilan kembar, penyakit ginjal, penyakit jantung, hipertensi kronis, dan kematian janin dalam rahim (KJDR). Sel podosit urin ditetapkan sebagai variabel bebas dan preeklampsia sebagai variabel tergantung. Sampel urin dibedakan menjadi ibu hamil tiga kelompok yaitu kelompok normal (N), preeklampsia ringan (PE ringan) dan preeklampsia berat (PE berat), masing-masing kelompok terdiri atas 84 sampel.
Hasil penelitian diperoleh dengan cara menghitung jumlah sel podosit dalam sedimen urin yang telah diproses dan difiksasi pada polylisin-coated slide. Sel podosit urin yang dihitung adalah sel yang viabel, yaitu sel yang menyerap warna biru pada pewarnaan dengan hoechst nuclear stain. Kuantifikasi sel podosit dalam slide dari setiap sampel dilakukan pada 10 lapang pandang menggunakan immunofluorescence microscope. Rerata sel podosit urin dinyatakan dalam satuan sel/100 μl suspensi urin.
Homogenitas data ketiga kelompok sampel diuji dengan Levene’s test. Kemudian dilakukan uji ANOVA (analysis of variance; one-way ANOVA), pada prinsipnya bertujuan untuk mengetahui rerata pada sampel yang berjumlah lebih dari dua kelompok sampel. Rerata sel podosit urin dari ketiga kelompok sampel dapat diketahui dengan menggunakan uji one-way ANOVA. Rerata sel podosit urin tiap kelompok sampel disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Rerata Sel Podosit Urin pada Kelompok Normal, PE ringan, dan PE berat
Sampel Rerata SD
Normal 84 0,806 0,2417
PE Ringan 84 28,870 2,1821
PE Berat 84 28,021 2,7179
Tiap kelompok sampel memiliki rerata yang berbeda. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar kelompok sampel. Hal tersebut berdasarkan angka probabilitas yang lebih kecil dari level α (α=0.05) yang telah ditentukan (p<0.05) yaitu Sig.=0.001 (~0.000).
Selanjutnya dilakukan uji Tukey’s-honestly significance difference(HSD)-multiple comparisons post-hoc test untuk membandingkan rerata sel podosit urin tiap kelompok, sehingga dapat diketahui adanya perbedaan rerata yang bermakna diantara ketiga kelompok sampel. Hasil uji Tukey’s-HSD–multiple comparisons post-hoc disajikan pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Perbedaan Rerata Sel Podosit Urin pada Kelompok Normal, PE ringan, PE Berat
Kelompok(I) Kelompok(J) Perbedaan Rerata(I-J) Sig.
Normal PE ringan -28.064 0.001
PE berat -27.215 0.001
PE Ringan Normal 28.064 0.001
PE berat 0.849 0.019
PE Berat Normal 27.215 0.001
PE ringan -0.849 0.01

Pada Tabel. 4.2 tampak terdapat perbedaan rerata yang bermakna antara kelompok normal dengan PE ringan (Sig.= 0.001), kelompok normal dengan PE berat (Sig. = 0.001), dan kelompok PE ringan dengan PE berat (Sig. = 0.019). Penilaian tersebut berdasarkan angka probabilitas yang lebih kecil dari level α (α = 0.05) yang telah ditentukan (p<0.05).

Tabel 4.3. Cutoff Point Rerata Sel Podosit Urin pada Hamil Normal dan Preeklampsia
Sel Podosit Urin
≥26,950 < 26,950
Hamil Normal 0 84
Preeklampsia ringan 51 33
Preeklampsia berat 67 17
x2 = 117,1 ; p = 0,000
Dari tabel 4.3. diperoleh cutoff point rerata sel podosit urin kehamilan normal dan preeklampsia 26,950 sel/100 μl suspensi urin. Berdasarkan cutoff point rerata sel podosit urin tersebut dapat digunakan untuk menilai batas sel podosit urin antara kehamilan normal dan preeklampsia.

























BAB VI
PEMBAHASAN

Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi sekitar 5% dari seluruh kehamilan, dan sampai saat ini penyebabnya masih belum diketahui secara jelas. Salah satu dasar penegakan diagnosis preeklampsia adalah adanya proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dipstick ≥ 1+. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara derajat proteinuria dan luaran kehamilan masih mengalami pertentangan. Selain itu, terdapat beberapa literatur terbaru yang menyimpulkan kurangnya akurasi proteinuria dengan pemeriksaan dipstick pada kehamilan. Demikian juga usulan dari beberapa peneliti lain untuk membedakan preeklampsia dengan penyakit proteinuria lain yaitu dengan proteinuria selektif dan non-selektif, diperoleh hasil yang masih mengecewakan.
Brown et al., (1995) melaporkan nilai dipstick +2 dihubungkan dengan lebih dari 50% false positive rate, false positive rate +1 sangat tinggi yaitu 67%. Bell et al. pada catatan medis perawat dibandingkan dengan bidan menemukan angka false positive rate lebih tinggi 47% vs 17%. Saudan et al. dengan teknologi otomatis, dipstick dibandingkan visual test juga mendapatkan false positive rate 52% vs 26%. Waugh et al. membandingkan dipstick dengan benzethonium chlorida false positive rate 12,5%. (Maybury H, Waugh J. 2004) Deteksi proteinuria pada pasien rawat inap dengan hipertensi menggunakan dipstick menemukan tingginya false positive rate proteinuria 24% pada +1, 53% pada +2 dan 93% pada +3/+4. Laporan dari penelitian yang lain 38% pada ≥ +1. Alto WA., (2005) dalam literatur terbarunya menyimpulkan bahwa akurasi proteinuria +1 pada kehamilan dengan dipstick menemukan kurang dan terbatasnya kegunaan pemeriksaan tersebut
Beberapa penelitian, menyebutkan adanya kemungkinan sel podosit urin dapat dipertimbangkan sebagai prediktor dan penunjang diagnostik preeklampsia, disamping standar baku proteinuria yang telah ditetapkan oleh Working Group of the National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP). Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap kuantifikasi sel podosit urin tersebut, namun belum memberikan informasi yang optimal.
Vesna D. et al., (2007) dalam penelitiannya menguji hipotesa ekskresi sel podosit urin yang diidentifikasi dan dikuantifikasi berdasarkan ekspresi podocyte-spesific markers (podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin), serta mencari hubungan nilai sel podosit urin dengan derajat proteinuria. Podocin-positive cells yang ada dalam urin wanita preeklampsia, HELLP dan tidak ada pada wanita normotensi. Kecenderungan adanya kerusakan ginjal akut pada preeklampsia, didalilkan sebagai lepasnya sel podosit urin bersamaan dengan proteinuria dan dihubungkan dengan derajat beratnya penyakit. Ekskresi sel podosit urin yang dikuantifikasi dengan podocyte-specific markers (podocalyxin) yang secara spesifik menunjukkan kerusakan ginjal dan proteinuria pada preeklampsia. Sel podosit urin berkontribusi terhadap proteinuria pada wanita hamil dengan preeklampsia, ini menunjukkan lepasnya sel podosit urin yang berfungsi sebagai barrier filtrasi glomerulus dan mengakibatkan terjadinya proteinuria. Sel podosit urin tidak timbul hanya karena kerusakan ginjal hipertensi atau adanya proteinuria.
Menurut Stefanie UV. et al., (2003) hilangnya glomerular visceral cells (sel podosit) dihubungkan dengan perkembangan glomerular sclerosis dan hilangnya fungsi ginjal. Sel podosit urin merupakan sel epitel spesial dari lapisan permukaan lempeng kapiler glomerulus yang merupakan bagian dari barrier filtrasi glomerulus yang bersama dengan sel endotel kapiler dan membran basal glomerulus akan menjamin permiabilitas selektif dari dinding kapiler glomerulus. Sel podosit urin selanjutnya mensintesa komponen-komponen dari membran basal glomerulus, dimana akan menyediakan kestabilan bagi struktur lempeng glomerulus. Disamping hal tersebut, terdapat hipotesa bahwa sel podosit urin ada sewaktu diagnosis preeklampsia dan sejumlah sel podosit urin dihubungkan dengan derajat beratnya proteinuria. Kuantifikasi, identifikasi, dan viabilitas sel podosit urin sedimen dikenali dengan mengekspresikan sel nukleated dan multinukleated podocalyxin menggunakan immunoflourescence microscope.
Penelitian yang dilakukan oleh Garovic et al., (2007) dan Karumanchi SA et al., (2007) memperkenalkan sel podosit urin, yang merupakan ekskresi dari epitel glomerular visceral cells dalam urin wanita hamil dengan preeklampsia. Aspek lain dari pengamatannya bahwa lesi ginjal preeklampsia predominan terjadi akibat kerusakan endotel yang khas, glomerular endotheliosis. Pengaruh preeklampsia pada foot-process yang sehat sebagai suatu peristiwa primer, dimana epitel sel podosit urin mensekresi vaskuler endothelial growth factor (VEGF), dan paling tidak reseptor VEGF tertentu, seperti neurophilin. Proteinuria dihubungkan dengan perubahan ekspresi protein podocyte foot-process. Podocin, podocalyxin, synaptopodin, dan nephrin dihubungkan dengan proteinuria pada wanita dengan preeklampsia.
Mian, (2007) pada urin yang diwarnai dengan immunoperoksidase untuk antibodi synaptopodin; 6 pasien preeklampsia, 4 pasien risiko tinggi preeklampsia, dan 9 kontrol normal, didapatkan 2 dari 6 sampel preeklampsia, dan 1 dari 4 sampel risiko tinggi terdapat sel podosit urin, sementara tidak satupun ditemukan pada kontrol.
Semua penelitian tersebut pada dasarnya menjelaskan tentang berbagai mekanisme bagaimana identifikasi sel podosit urin dapat membedakan preeklampsia dari gangguan hipertensi proteinuria yang lain. Teori berdasarkan atas hasil penelitian yang dikemukakan oleh beberapa peneliti tersebut kemungkinan dapat menjelaskan tentang adanya sel podosit urin dengan jumlah yang berbeda sesuai kondisi kehamilan (normal, preeklampsia ringan, preeklampsia berat).
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sugimoto, (2003) dan Davis, (2007), menemukan lepasnya sel podosit urin glomerulus yang masih viabel dalam urin ibu ada pada proses aktif penyakit ginjal sebelum timbulnya gejala preeklampsia. Terdapat korelasi positif antara jumlah sel podosit urin dan derajat beratnya proteinuria (p=0,04). Pada wanita hamil normotensi, atau hipertensi dengan penyakit ginjal kronis, atau proteinuria tanpa gejala klinis preeklampsia tidak ditemukan sel podosit urin.
Patogenesis preeklampsia yang dikemukakan oleh Sugimonto, (2003), Garovic et al., (2007), dan Moore, (2007), salah satu diantaranya akibat adanya kegagalan invasi tropoblast ke dalam a. spiralis menyebabkan vasokonstriksi, sehingga terjadi iskemia plasenta yang mengakibatkan lepasnya radikal bebas sebagai penyebab disfungsi endotel. Pada ginjal akan terjadi peningkatan sFlt-1 yang berperan sebagai inhibitor endogen pada sinyalisasi VEGF sehingga menimbulkan turunnya ekspresi VEGF dalam cairan amnion dan serum. Turunnya produksi VEGF di glomerulus akan meningkatkan pelepasan protein slit diapfragma epitel glomerulus nephrin dan synaptopodin, sehingga menyebabkan disfungsi endotel berupa glomerular endotheliosis. Hal ini akan mengakibatkan kerusakan massive dan pelepasan sel podosit glomerulus ke urin yang selanjutnya menimbulkan preeklampsia dengan proteinuria. Tidak tampak adanya sel podosit urin pada kehamilan normal akibat sel podosit urin cepat menghilang setelah 3-7 hari, meskipun proteinuria karena lesi kronis terus berlangsung.
Uji ANOVA dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok sampel. Agar setiap kelompok tampak perbedaannya, maka digunakan Post-hoc test dengan Tukey-HSD, sehingga pada hasil multiple comparisons diperoleh nilai signifikansi sebagai berikut : normal-preeklampsia ringan 0,001; normal-preeklampsia berat 0,001; preeklampsia ringan-preeklampsia berat 0,019. Hal ini berarti bahwa ketiga kelompok sampel tersebut memiliki perbedaan rerata sel podosit urin bermakna, dimana H0 ditolak, H1 diterima karena p < 0,05. Pada penelitian ini ditemukan rerata sel podosit urin kelompok normal adalah 0,806, preklampsia ringan 28,870, preeklampsia berat 28,021. Berdasarkan uji statistik rerata sel podosit urin kehamilan normal secara bermakna lebih kecil daripada kehamilan yang disertai preeklampsia ringan, dan berat, namun kehamilan yang disertai preeklampsia berat rerata sel podosit urin secara bermakna lebih kecil daripada kehamilan yang disertai preeklampsia ringan. Keadaan ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Kalluri (2006) tentang proteinuria dengan dan tanpa lepasnya podosit glomerulus ginjal, yaitu adanya defek pada tiga komponen filtrasi glomerulus ternyata dapat menimbulkan proteinuria tanpa disertai lepasnya sel podosit urin.
Dalam penelitian Kalluri (2006) digunakan tikus dengan model proteinuria yang berbeda. Model pertama dengan menyuntikkan antibodi vascular endothelial growth factor (VEGF) atau soluble vascular endothelial growth factor receptor. Model kedua dengan deletion of type IV collagen α3 chain pada GBM. Model ketiga mengalami genetic deletion of slit diaphragm-nephrin. Secara menyeluruh eksperimen ini mendukung bukti dari beberapa penelitian pada manusia yang menggambarkan defek berat pada GBM, endotel glomerulus, dan slit diaphragma dapat menimbulkan proteinuria tanpa lepasnya sel podosit. Proteinuria massive dapat terjadi tanpa lepasnya sel podosit.
Apa yang menyebabkan terjadinya proteinuria tanpa diikuti oleh lepasnya sel podosit? Tiga komponen filtrasi glomerulus memiliki komunikasi molekuler dan biokimia yang konstan satu dengan yang lain, melalui interaksi sel glomerular basement membrane (GBM), faktor pertumbuhan, dan pengaruh soluble ligand-receptor. Oleh karena itu, walaupun perubahan morfologi yang jelas pada sel podosit tidak dapat diamati selama fase awal proteinuria, hingga sampai terjadinya molecular alterations pada komposisi slit diaphragma, pengelompokan, dan penandaan yang mungkin ada pada stadium ini tanpa disertai perubahan morfologi yang jelas. Kemudian, lesi potensial yang mengakibatkan defek morfologi, dikenal sebagai lepasnya sel podosit dalam urin dihubungkan dengan derajat beratnya, adhesi non spesifik dan hilangnya slit diaphragma. Seperti defek potensial yang menimbulkan hilangnya jalur spesifik dan adhesi yang terjadi pada GBM, oleh karena itu, penyebab proteinuria sendiri masih dikatakan belum jelas. Meskipun demikian, lepasnya sel podosit tidak memerlukan inisiasi proteinuria.
Van den Berg et al. menggambarkan dalam penelitiannya bahwa sel podosit tidak dihubungkan dengan derajat proteinuria pada beberapa glomerulopati manusia, seperti pada kasus varians minimal-change nephritis syndrome. Menurut Jarad et.al (2006) penelitian pada model tikus dengan defisiensi GBM laminin β2, albuminuria terjadi lebih dari 7 hari sebelum sel podosit lepas dan hilangnya slit diaphragm. Topham et.al (1999) menyatakan bahwa penyuntikkan antibodi nephrin menginduksi proteinuria massive pada model tikus dengan slit diaphragma intak dan sel podosit yang masih baik.
Uraian diatas juga menunjukkan bahwa proteinuria yang terjadi pada beberapa sampel dengan diagnosa preeklampsia berat kemungkinan mengalami defek yang berhubungan dengan proteinuria gromerular disease. Jadi dengan demikian, adanya sel podosit urin pada preeklampsia dapat menjadi penanda/marker, prediktor untuk membedakan antara proteinuria pada preeklampsia dengan proteinuria yang timbul pada gromerular disease, dimana pemeriksaan sel podosit urin preeklampsia sebagai penunjang diagnostik preeklampsia, sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Vesna D. et al (2007), Garovic et al., (2007), Mian, (2007), Mahoney-Diana, (2007), Karumanchi SA., (2007), Davis, (2007), dan Kalluri, (2006), dimana para peneliti tersebut dengan pemeriksaan sel podosit urin marker podocalyxin didapatkan sensitifitas 93%, spesifisitas 75%, podocin sensitifitas 100%, spesifisitas 100%. Sesuai pada penelitian Vesna D. et al., (2007), Karumanchi SA (2007), bahwa identifikasi sel pododit urin dapat membedakan preeklampsia dari penyakit hipertensi proteinuria yang lain seperti eksaserbasi dari glomerular disorders, kehamilan dengan lupus nephritis, kehamilan dengan diabetic nephropathy, dan Garovic et. al (2007) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa sel podosit urin merupakan marker sensitif dan spesifik preeklampsia, yang kedepan akan dikembangkan menjadi alat skreening (prediktor) preeklampsia, dan dapat menunjukkan bahwa sel podosit urin ada sebelum proteinuria.
Proteinuria tanpa lepasnya sel podosit juga tampak pada wanita dengan preeklampsia dan lesi endotel berat (Ronco P. 2007 cit Pirani et.al 1963), serta kasus-kasus dengan nephrotic syndrome (Ronco P, 2007 cit Good et.al 2004; Branten et.al 2001). Mengapa proteinuria selalu dihubungkan dengan lepasnya sel podosit? Menurut Sever S. et.al, (2007) dan Morigi M. et.al (2005) dalam penelitiannya, secara in vitro adanya albumin dan IgM dengan konsentrasi normal dalam plasma menstimulasi perubahan sitoskeleton podosit, sedangkan secara in vivo sel podosit menunjukkan aktivitas endositik yang tinggi pada kondisi nephrotic, namun belum ditetapkan apakah aktifitas endositik akan menginduksi CatL dan dynamin p40. CatL (cathepsin L-mediated) diinduksi dalam sel podosit yang kekurangan α3 integrin, dimana CatL inilah yang kemudian menginduksi terjadinya proteinuria. Dynamin p40 menyebabkan adanya proteinuria transient dan lepasnya sel podosit urin, dimana secara normal dynamin diperlukan untuk memelihara barrier ultrafiltrasi glomerulus yang dimungkinkan dengan mengatur sitoskeleton aktin dan bentuk ikatan GTP dari dynamin yang aktif akan di- “switches off” oleh CatL.
Pada kondisi tertentu, proteinuria dapat terjadi tanpa disertai lepasnya sel podosit dalam urin. Hal tersebut kemungkinan akibat adanya beberapa sampel preeklampsia berat dalam penelitian ini sebelumnya telah mengalami defek seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya: Sever S. et.al, (2007), Kalluri (2006), Morigi M. et.al (2005), Good et.al (2004), Branten et.al (2001), Topham et.al (1999), Pirani et.al (1963), dimana defek tersebut dapat menimbulkan proteinuria tanpa disertai lepasnya sel podosit urin. Uraian diatas dapat menjelaskan mengapa dalam penelitian ini diperoleh hasil rerata sel podosit urin pada sampel preeklampsia berat lebih kecil dibandingkan preeklampsia ringan.
Hasil penelitian ini secara umum sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memberi gambaran keberadaan sel podosit urin pada wanita hamil dengan preeklampsia. Ekspresi sel podosit urin yang diidentifikasi dan dikuantifikasi dengan podocyte-specific markers podocalyxin secara spesifik menunjukkan kerusakan ginjal dan proteinuria pada preeklampsia. Sel podosit urin berkontribusi terhadap proteinuria pada wanita hamil dengan preeklampsia, dimana tampak bahwa hilangnya sel podosit urin sebagai barrier filtrasi glomerulus mengakibatkan terjadinya proteinuria. Namun pada kondisi tertentu, proteinuria dapat terjadi tanpa diikuti oleh lepasnya sel podosit urin, dimana hal ini menunjukkan bahwa proteinuria tersebut terjadi pada glomerular disease, bukan merupakan proteinuria pada preeklampsia.
Cutoff point rerata sel podosit urin kehamilan normal dan preeklampsia yang diperoleh adalah 26,950 sel/100 μl suspensi urin. Cutoff point rerata sel podosit urin tersebut dapat digunakan untuk menilai batas sel podosit urin antara kehamilan normal dan preeklampsia. Bila cutoff point rerata sel podosit urin <26,950 dianggap sebagai kehamilan normal, sedangkan bila ≥ 26,950 dianggap sebagai kehamilan preeklampsia.





















BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1. SIMPULAN
1. Terdapat perbedaan bermakna rerata sel podosit urin pada wanita hamil normal dan preeklampsia, dengan cutoff point rerata sel podosit urin kehamilan normal dan preeklampsia 26,950 sel/100 μl suspensi urin.
2. Rerata sel podosit urin pada kehamilan normal 0,806, preeklampsia ringan 28,870, preeklampsia berat 28,021
3. Terdapat perbedaan bermakna rerata sel podosit urin pada wanita hamil normal, preeklampsia ringan, dan preeklampsia berat.

7.2. SARAN
1. Penelitian ini perlu disempurnakan lagi dalam hal metodologi, penentuan kriteria sampel, teknik pengambilan sampel dan pengiriman sampel.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan penggunaan sel podosit urin sebagai alat skreening atau penunjang diagnostik preeklampsia.

Serving, not to be served

Serving, not to be served

ANDIKA-ANDILA

ANDIKA-ANDILA